/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333}

Kamis, 01 Mei 2014

Perjanjian Pemborongan



Perjanjian Pemborongan
            Perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata Pasal 1601 b disebut dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lainnya, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Perjanjian pemborongan di atur dalam Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal 1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian Pemborongan merupakan salah satu macam perjanjian dari perjanjian melakukan pekerjaan.
Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan ada dua, pihak pertama disebut sebagai pihak yang memborongkan/prinsipal/bouwheer/aan bestender/pemberi tugas, sedangkan pihak ke-dua disebut pemborong/kontraktor/rekanan/annemer/pelaksana. Adapun obyek pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk).
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUHperdata juga diatur dalam Keppres No.16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan APBN jo. Keppres No.24 Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994, serta AV 1941 (Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van openbare werken in Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a.         Bagian ke-1 memuat syarat-syarat administrasi
b.        Bagian ke-2 memuat syarat-syarat bahan
c.         Bagian ke-3 memuat syarat-syarat teknis
 Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan bentuknya bebas (vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis. Namun demikian perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara tertulis dan dalam bentuk standar.
Adapun macam dan isi perjanjian pemborongan di dalam KUHPerdata dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan:
a.         Perjanjian pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
b.        Perjanjian Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan bahan-bahan/materialnya.

            Isi dari perjanjian pemborongan tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di dalam Keppres No.16 Tahun 1994 isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai berikut:
a.         Akta dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan (tidak diatur dalam Keppres No.16 Tahun 1994).
b.        Surat Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No.16 Tahun 1994.
c.         Surat perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun 1994.
Perjanjian pemborongan berakhir apabila:
a.         Pekerjaan tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan telah dibayar oleh pihak yang memborongkan.
b.        Pembatalan perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdat).
c.         Kematian pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata)
d.        Kepailitan.
e.         Pemutusan perjanjian pemborongan.

Disamping perjanjian bernama, di dalam KUHPerdata juga dikenal perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab ini dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua bentuk perjanjian dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak bernama tunduk pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata. Ada dua macam perjanjian tidak bernama:
a.         Perjanjian Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa.
b.        Perjanjian Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat berbagai unsure perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi karakter yang khusus dalam perjanjian tersebut. Misalnya: Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Leasing, Perjanjian Kredit Sindikasi.

Perjanjian Beli-Sewa
            Perjanjian beli sewa adalah suatu perjanjian jual beli dimana pada saat perjanjian diadakan hak milik barang belum beralih. Hak milik baru akan beralih setelah sewa terakhir dibayar. Jadi tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah peralihan hak milik, selama pembayaran belum lunas, maka status barang adalah barang sewa dan pembeli masih berstatus sebagai penyewa karena barang masih milik penjual. Hak Milik berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran tidak selesai maka barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa.

Perjanjian Leasing
            Pengertian leasing menuirut Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dari pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur perjanjian leasing, yaitu:
a.       Pihak Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama.
b.      Pihak Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah disepakati bersama.
c.       Ada benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
d.      Ada suatu jangka waktu tertentu.
e.       Ada sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati bersama.
            Selanjutnya setelah unsur-unsur dari perjanjian leasing diketahui, maka dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu leasing, yaitu:
a.       Benda yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal dalam lalu lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu.
b.      Para pihak yang terikat dalam perjanjian leasing badan usaha dan/atau perorangan yang melakukan usaha.
c.       Jangka waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek leasing.
d.      Ada pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai ada pada lessee.
            Dalam perjanjian leasing dikenal beberapa jenis leasing yang dibedakan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, yaitu:
a.       berdasarkan risiko ekonomis, ada dua jenis leasing;
·           Financial Leasing
·           Operational Leasing
b.      berdasarkan pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing:
·           leasing benda tetap
·           Leasing benda bergerak

            Perjanjian leasing merupakan perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar.
            Obyek perjanjian leasing adalah barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu RI No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ).
            Berakhirnya perjanjian leasing dapat terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht.

Perjanjian Kredit Sindikasi
            Pengertian Perjanjian Kredit Sindikasi menurut Stanley Hurn seperti dikutip oleh Remy Sjahdeini adalah suatu pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga keuangan, berdasarkan syarat-syarat yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi, menggunakan dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan oleh satu agen yang sama untuk semua peserta sindikasi tujuannya untuk membiayai suatu obyek fasilitas kredit milik debitur dan dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak.
            Ada dua cara terbentuknya kredit sindikasi, yang pertama atas permintaan nasabah  dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk membiayai suatu proyek milik nasabah dalam bentuk sindikasi.
            Ada beberapa tahap pembentukan kredit sindikasi, yaitu
a.       penawaran (offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana,
b.      pembentukan arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari kredit sindikasi yang tidak harus menjadi peserta sindikasi,
c.       Pembentukan lead manager dan managing group,
d.      Penyampaian penawaran (offer) dan Penerimaan Mandat,
e.       Penyiapan information memorandum dan Perjanjian Kredit,
f.       Penunjukan Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit sindikasi ditanda tangani,
g.      Upacara penandatanganan perjanjian kredit sindikasi yang disebut loan signing ceremony, (8) Perlaksanaan publisitas yang tujuannya untuk transparansi agar masyarakat dapat mengukur tingkat risiko dari debitur.
g.
Perjanjian kredit sindikasi adalah perjanjian pokok dimana sebagai perjanjian pokok selalu diikuti dengan perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan (Security Sharing Agreement) dan Perjanjian Pengikatan jaminan.
Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi terjadi apabila debitur telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu melakukan pembayaran, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya lain yang timbul akibat perjanjian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar