Perjanjian
Pemborongan
Perjanjian pemborongan di dalam
KUHPerdata Pasal 1601 b disebut dengan istilah Pemborongan Pekerjaan, yaitu
perjanjian dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lainnya, pihak yang memborongkan,
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Perjanjian pemborongan di atur dalam
Buku III Bab 7A Pasal 1601 b, Pasal 1604- Pasal 1616 KUHPerdata. Perjanjian
Pemborongan merupakan salah satu macam perjanjian dari perjanjian melakukan
pekerjaan.
Pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan
ada dua, pihak pertama disebut sebagai pihak yang
memborongkan/prinsipal/bouwheer/aan bestender/pemberi tugas, sedangkan pihak
ke-dua disebut pemborong/kontraktor/rekanan/annemer/pelaksana. Adapun obyek
pemborongan adalah pembuatan suatu karya (het maken van werk).
Perjanjian pemborongan selain diatur
dalam KUHperdata juga diatur dalam Keppres No.16 Tahun 1994 tentang pelaksanaan
APBN jo. Keppres No.24 Tahun 1995 perubahan atas Keppres No.16 Tahun 1994,
serta AV 1941 (Algemene voorwaarden voorde uitvoering bij aanneming van
openbare werken in Indonesia, artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan
pemborongan pekerjaan umum di Indonesia). AV terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a.
Bagian
ke-1 memuat syarat-syarat administrasi
b.
Bagian
ke-2 memuat syarat-syarat bahan
c.
Bagian
ke-3 memuat syarat-syarat teknis
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil dan
bentuknya bebas (vormvrij) artinya dapat dibuat secara lisan atau tertulis.
Namun demikian perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus
dibuat secara tertulis dan dalam bentuk standar.
Adapun macam dan isi perjanjian
pemborongan di dalam KUHPerdata dikenal ada dua macam perjanjian pemborongan:
a.
Perjanjian
pemborongan dimana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja.
b.
Perjanjian
Pemborongan dimana pemborong selain melakukan pekerjaan juga menyediakan
bahan-bahan/materialnya.
Isi dari perjanjian pemborongan
tidak ditentukan dalam KUHPerdata, hal ini sesuai dengan asas kebebasan
berkontrak (Pasal 1338 ayat (1) ), sedangkan di dalam Keppres No.16 Tahun 1994
isi perjanjian pemborongan ditentukan sebagai berikut:
a.
Akta
dibawah tangan, isinya terserah pada pihak yang memborongkan (tidak diatur
dalam Keppres No.16 Tahun 1994).
b.
Surat
Perintah Kerja (SPK) isinya sekurang-kurangnya harus memuat sebagaimana diatur
dalam Pasal 22 ayat (1) Keppres No.16 Tahun 1994.
c.
Surat
perjanjian pemborongan kontrak, isinya sekurang-kurangnya harus memuat
sebagaimana diatur pada Pasal 22 ayat (2) Keppres No.16 Tahun 1994.
Perjanjian pemborongan berakhir apabila:
a.
Pekerjaan
tidak diselesaikan oleh pemborong setelah masa pemeliharaan selesai atau dengan
akta lain pada penyerahan kedua dan harga borongan telah dibayar oleh pihak
yang memborongkan.
b.
Pembatalan
perjanjian pemborongan (Pasal 1611 KUHPerdat).
c.
Kematian
pemborong (Pasal 1612 KUHPerdata)
d.
Kepailitan.
e.
Pemutusan
perjanjian pemborongan.
Disamping perjanjian bernama, di dalam
KUHPerdata juga dikenal perjanjian-perjanjian yang tidak bernama. Hal ini
tampak pada ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua
perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal
dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat
didalam bab ini dan bab yang lalu. Artinya, KUHPerdata berlaku bagi semua
bentuk perjanjian dengan kata lain baik perjanjian bernama maupun yang tidak
bernama tunduk pada ketentuan umum, yaitu Bab I - IV Buku III KUHPerdata. Ada
dua macam perjanjian tidak bernama:
a.
Perjanjian
Campuran, yaitu perjanjian yang didalamnya terkandung unsur dari berbagai
perjanian bernama. Misalnya : Perjanjian Beli-Sewa.
b.
Perjanjian
Jenis Baru Mandiri, yaitu perjanjian yang di dalamnya terdapat berbagai unsure
perjanjian bernama yang bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat
dipilah-pilah dan sifat yang demikian memberi karakter yang khusus dalam
perjanjian tersebut. Misalnya: Perjanjian Beli Sewa, Perjanjian Leasing,
Perjanjian Kredit Sindikasi.
Perjanjian Beli-Sewa
Perjanjian beli sewa adalah suatu
perjanjian jual beli dimana pada saat perjanjian diadakan hak milik barang
belum beralih. Hak milik baru akan beralih setelah sewa terakhir dibayar. Jadi
tujuan akhir dari perjanjian beli sewa adalah peralihan hak milik, selama
pembayaran belum lunas, maka status barang adalah barang sewa dan pembeli masih
berstatus sebagai penyewa karena barang masih milik penjual. Hak Milik
berpindah tangan apabila angsuran lunas. Jika angsuran tidak selesai maka
barang dapat diambil kembali oleh si penjual dan uang angsuran yang telah
dibayarkan dianggap sebagai uang sewa.
Perjanjian Leasing
Pengertian leasing menuirut
Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1169/KMK/.01/1991 adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak
opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease)
untuk digunakan lesee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
secara berkala. Dari pengertian tersebut diketahui ada beberapa unsur
perjanjian leasing, yaitu:
a.
Pihak
Lessor, yaitu pihak yang memiliki suatu benda yang bersedia memberikan hak
pakai atas benda-benda miliknya kepada pihak lain untuk suatu jangka waktu
tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang disepakati bersama.
b.
Pihak
Lessee, yaitu pihak yang bermaksud untuk memakai benda milik orang lain untuk
jangka waktu tertentu, dengan pembayaran sejumlah uang yang besarnya telah
disepakati bersama.
c.
Ada
benda yang menjadi obyek perjanjian tersebut.
d.
Ada
suatu jangka waktu tertentu.
e.
Ada
sejumlah uang yang merupakan harga lease yang besarnya telah disepakati
bersama.
Selanjutnya setelah unsur-unsur
dari perjanjian leasing diketahui, maka dapat ditinjau ciri-ciri dasar suatu
leasing, yaitu:
a.
Benda
yang menjadi obyek leasing adalah alat produksi atau barang modal dalam lalu
lintas ekonomi yang mewakili nilai tertentu.
b.
Para
pihak yang terikat dalam perjanjian leasing badan usaha dan/atau perorangan
yang melakukan usaha.
c.
Jangka
waktu leasing selalu berkaitan dengan umur ekonomis obyek leasing.
d.
Ada
pemisahan antara hak milik yang tetap ada pada lessor dan hak pakai ada pada
lessee.
Dalam perjanjian leasing dikenal
beberapa jenis leasing yang dibedakan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu,
yaitu:
a.
berdasarkan
risiko ekonomis, ada dua jenis leasing;
·
Financial
Leasing
·
Operational
Leasing
b.
berdasarkan
pembagian Obyek Leasing, ada dua jenis leasing:
·
leasing
benda tetap
·
Leasing
benda bergerak
Perjanjian leasing merupakan
perjanjian timbal balik, karena menimbulkan hak dan kewajiban diantara kedua
belah pihak, meskipun ketentuan dalam perjanjian telah ditentukan oleh salah
satu pihak yaitu lessor dalam suatu formulir yang siap ditanda tangani oleh
lessee, oleh karenanya perjanjian leasing juga merupakan perjanjian standar.
Obyek perjanjian leasing adalah
barang modal dan harga leasing. Barang modal adalah setiap aktiva tetap yang
berwujud termasuk tanah sepanjang diatas tanah tersebut melekat aktiva tetap
berupa bangunan (plant) dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan
kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan digunakan
secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan ataupun memperlancar
produksi barang atau jasa oleh lessee (Pasal 1 b. Kepmenkeu RI
No.1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (leasing) ).
Berakhirnya perjanjian leasing dapat
terjadi secara normal dan tidak normal. Perjanjian leasing berakhir secara
normal jika kewajiban-kewajiban semua pihak telah dilaksanakan sebagaimana
mestinya menurut perjanjian leasing, yaitu sejak lessee melunasi pembayaran
uang sewa terakhir ditambah biaya-biaya lain jika ada. Sedangkan suatu
perjanjian leasing berakhir secara tidak normal apabila jangka waktu berlakunya
perjanjian leasing belum berakhir, tetapi kewajiban salah astu pihak terhenti
karena adanya suatu peristiwa tertentu. Perjanjian leasing berakhir secara
tidak normal baik karena consensus, wanprestasi maupun overmacht.
Perjanjian Kredit Sindikasi
Pengertian Perjanjian Kredit
Sindikasi menurut Stanley Hurn seperti dikutip oleh Remy Sjahdeini adalah suatu
pinjaman yang dibuat oleh dua atau lebih lembaga keuangan, berdasarkan
syarat-syarat yang sama bagi masing-masing peserta sindikasi, menggunakan
dokumen kredit tunggal dan diadministrasikan oleh satu agen yang sama untuk
semua peserta sindikasi tujuannya untuk membiayai suatu obyek fasilitas kredit
milik debitur dan dalam jangka waktu yang disepakati oleh para pihak.
Ada dua cara terbentuknya kredit
sindikasi, yang pertama atas permintaan nasabah
dan yang kedua atas inisiatif bank yang memandang perlu untuk membiayai
suatu proyek milik nasabah dalam bentuk sindikasi.
Ada beberapa tahap pembentukan
kredit sindikasi, yaitu
a.
penawaran
(offer) bisa dari bank atau dari pihak debitur yang memerlukan dana,
b.
pembentukan
arrangers yang terdiri dari bank-bank yang akan menjadi bagian dari kredit
sindikasi yang tidak harus menjadi peserta sindikasi,
c.
Pembentukan
lead manager dan managing group,
d.
Penyampaian
penawaran (offer) dan Penerimaan Mandat,
e.
Penyiapan
information memorandum dan Perjanjian Kredit,
f.
Penunjukan
Agen Bank yang dilakukan sebelum perjanjian kredit sindikasi ditanda tangani,
g.
Upacara
penandatanganan perjanjian kredit sindikasi yang disebut loan signing ceremony,
(8) Perlaksanaan publisitas yang tujuannya untuk transparansi agar masyarakat
dapat mengukur tingkat risiko dari debitur.
g.
Perjanjian kredit sindikasi adalah
perjanjian pokok dimana sebagai perjanjian pokok selalu diikuti dengan
perjanjian-perjanjian tambahan, yaitu Perjanjian Pembagian Hasil Jaminan
(Security Sharing Agreement) dan Perjanjian Pengikatan jaminan.
Berakhirnya perjanjian kredit sindikasi
terjadi apabila debitur telah melaksanakan kewajiban-kewajibannya yaitu
melakukan pembayaran, baik pembayaran utang pokok, bunga, denda dan biaya-biaya
lain yang timbul akibat perjanjian tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar